entah1982

Profil Wong Wonogiri DI www.annida-online.com

In wonogiri on Agustus 28, 2009 at 2:24 am

secara tidak sengaja saya berhasil menemukan kembali profil dedengkot BloWn di situs annida Online.  berikut copi pastenya.

Arti Kemerdekaan Bagi Kaum Epistoholik

Annida-Online-Pada tanggal 11 Agustus 2009 lalu, Aliansi Jurnalis Independen Indonesia (AJI) memberikan penghargaan Tasrif Award 2009 kepada Khoe Seng Seng sebagai tokoh yang gigih menyuarakan hak-hak konsumen dan tokoh yang gigih memperjuangkan kebebsan berpendapat melalui surat pembaca di surat kabar. Perjuangan dan kegigihan Khoe Seng Seng alias Aseng ini bukan tanpa hambatan.

Di tahun 2006 silam, Aseng pernah menulis surat pembaca di harian Kompas bertanggalkan 26 September 2006 dengan judul “Duta Pertiwi Bohong”, karena tak ada respon dari berbagai pihak, beberapa bulan kemudian, tepatnya pada tanggal 21 November 2006, ia menulis surat pembaca yang isinya sama di harian Suara Pembaruan dengan judul “Jeritan Pemilik Kios ITC Mangga Dua”. Dalam dua suratnya itu, Aseng mengemukakan bahwa dirinya merasa ditipu oleh PT Duta Pertiwi, selaku pengembang ITC Mangga Dua Jakarta, yang tidak pernah memberitahu status kepemilikannya sebagai Hak Guna Bangunan di atas Hak Pengelolaan Lahan, bukan Hak Guna Bangunan Murni.

Bukannya mendapat penjelasan atau keadilan yang diharapkannya, Aseng malah dihukum pidana selama 6 bulan percobaan karena PT Duta Pertiwi menggugatnya secara perdata dan pidana atas dugaan pencemaran nama baik. Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Timur memang mengharuskan Aseng membayar ganti rugi satu milliar sebagaimana gugatan yang diajukan PT Duta Pertiwi. Walaupun putusan tersebut dibatalkan Pengadilan Tinggi DK Jakarta, namun Aseng masih harus menghadapi proses hukum karena kasusnya beum selesai dan saat ini masih ditangani oleh Mahkamah Agung.

“Kasus-kasus serupa masih banyak lagi sebenarnya. Inilah yang menunjukkan betapa kita, yang katanya hari ini merayakan Dirgahayu Kemerdekaan RI yang ke-64 tahun, ternyata belum benar-benar merdeka secara maknawi. Karena untuk mempertanyakan apalagi menuntut hak-hak kita yang paling asasi saja kita nggak bisa di negeri ini. Ini aneh, bukan?” jelas Bambang Haryanto, pendiri Komunitas Epistoholik Indonesia pada Annida-Online di Jakarta, Senin (17/8) lalu.

Epistoholik adalah sebutan bagi orang-orang yang kerap menyuarakan berbagai hal, kritik, aduan, bahkan komentar, di media massa (surat kabar, majalah, dan lain sebagainya). Sebutan itu mula-mula diberikan oleh majalah Time pada 6 April 1992 kepada Anthony Parakal, seorang pensiunan perusahaan kereta api dari Mumbai India yang telah menulis berbagai aduan, ketidakpuasan, hingga kritik maupun pujian bagi seseorang/pihak-pihak tertentu di surat kabar sejak tahun 1955.

Bambang sendiri mengaku, gagasan mendirikan komunitas Epistoholik Indonesia telah diupayakannya sejak tahun 1992, namun gagal, sehingga baru bisa diresmikan pada 27 Januari 2005 silam. Alasannya perlu untuk mendirikan komunitas ini adalah karena budaya demokrasi di Indonesia belum sepenuhnya berjalan dengan baik.

“Saya ingin komunitas ini menjadi salah satu pilar demokrasi yang mencerdaskan dan mendidik. Istilahnya kalau kita ingin usul ataupun memberikan kritik, harus punya data yang kuat, juga analistis yang akurat. Artinya, komunitas Epistoholik Indonesia yang saya dirikan ini juga ingin mempromosikan pentingnya keterampilan menulis yang melahirkan gagasan dalam bahasa, terutama bagi generasi muda Indonesia,” papar pria kelahiran Wonogiri, Jawa Tengah ini.

Sayangnya, Bambang juga menjelaskan bahwa budaya epistoholik di media massa belum dimanfaatkan secara optimal oleh masyarakat Indonesia, khususnya oleh generasi muda Indonesia. Bambang menjelaskan ada banyak hal yang menyebabkan hal ini. Pertama, sistem pendidikan di negeri ini tidak mengoptimalkan budaya literasi yang termasuk di dalamnya adalah budaya menulis.

“Padahal, sebuah penelitian di AS menyatakan, anak-anak itu punya kemampuan yang sama dalam menerima informasi tetapi nggak banyak yang mampu belajar memanfaatkannya secara efektif dalam berpikir dan bernalar. Jadi menurut saya, kalau seseorang terampil dalam menulis dan semakin banyak mereka menulis, akan semakin mengasah mereka menjadi intelektual yang pemikir. Dan pendidikan kita gagal membudayakan hal tersebut,” terang Bambang berapi-api.

Alasan selanjutnya mengapa budaya epistoholik tak terlalu nge-tren di Indonesia adalah keberpihakan pemerintah yang kurang berpihak pada masyarakat. Ada banyak kasus seperti Aseng di negeri ini yang justru menjadi bumerang sendiri bagi masyarakat. Masyarakat merasa takut duluan bila ia mengeluhkan sesuatu justru akan dihukum, diduga mencemarkan nama baik pihak yang dibicarakan, dan lain sebagainya. Pada akhirnya, Bambang menilai kebebasan berpendapat yang telah diatur dalam UUD 1945 pasal 28 memang tak pernah mudah terjadi di Indonesia, tidak di era Orde Baru, atau pada saat ini.

“Istilahnya blaming the victims. Di mana seseorang yang menjadi korban justru dikorbankan, dipersalahkan. Kalau sudah begini, saya dapat katakan bahwa budaya epistoholik di Indonesia yang masih sangat lemah ini mencerminkan bahwa sesungguhnya kita memang belum merdeka! Menuntut hak pribadi lewat cara-cara yang sah dengan menulis saja kita takut, apalagi kalau bukan terjajah namanya?” pungkas Bambang. [nyimas]

  1. Dear Arista, wah, wajah barunya situs BloWn makin OK.Artikel ini mengagetkan saya, krn saya merasa engga pernah diajak ngobrol tuh ? Aku harus gembira atau sebaliknya ? Syukurlah isinya sih positif. Salam.

Tinggalkan komentar